Kamis, 05 Mei 2011

saragih

Beberapa versi sumber sejarah menyatakan bahwa leluhur marga saragih berasal dari Selatan India, yang melakukan perjalanan ke Sumatera Timur ke daerah Aceh, Langkat, daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara.

Akibat desakan suku setempat, mereka kemudian bergerak ke daerah pinggiran Toba dan Samosir[1].

Marga Saragih pertama (Hasusuran-1) itu sendiri muncul saat salah seorang Puanglima (Panglima) dari kerajaan Nagur dijadikan menantu oleh Raja Nagur dan selanjutnya mendirikan satu kerajaan baru di Raya (di sekitar daerah yang kini disebut Pematang Raya, Simalungun).

Daftar Raja Kerajaan Raya:

1. Tuan Si Pinang Sori
2. Raja Raya, Tuan Lajang Raya
3. Raja Raya Simbolon (Namanya memakai nama wilayah kerajaannya, sebab tidak diketahui lagi siapa nama aslinya)
4. Raja Gukguk
5. Raja Unduk
6. Raja Denggat
7. Raja Minggol
8. Raja Poso
9. Raja Nengel
10. Raja Bolon
11. Raja Martuah
12. Raja Raya Tuan Morahkalim
13. Raja Raya Tuan Jimmahadim, Tuan Huta Dolog
14. Raja Raya Tuan Rondahaim
15. Raja Raya Tuan Sumayan (Kapoltakan)
16. Raja Raya Tuan Gomok (Bajaraya)
17. Tuan Yan Kaduk Saragih Garingging

Sebagian suku Batak Toba mengklaim bahwa marga Saragih dari suku Simalungun berasal dari Samosir (daerah yang dipercayai sebagai asal-usul suku Batak Toba) dan termasuk kelompok marga-marga yang disebut Parna (PomparAn ni Raja Nai Ambaton). Paham ini banyak ditentang oleh Marga Saragih karena belum adanya dokumen yang mendukung hal ini dan terutama karena bertentangan dengan isi pustaha (dokumen tua Simalungun) dan buku tarombo (silsilah dan sejarah marga) yang diteruskan secara turun temurun di kalangan marga Saragih.
[sunting] Submarga Saragih

Saragih terdiri dari banyak sub-marga, antara lain:

1. Garingging
1. Dasalak
2. Dajawak
3. Permata
2. Damuntei
3. Sumbayak
4. Siadari
5. Siallagan
6. Sidabalok
7. Sidabukke
8. Sidabutar
9. Sidauruk
10. Sigalingging
11. Sijabat
12. Simanihuruk
13. Simarmata
14. Sitanggang
15. Sitio
16. Napitu
17. Rumahorbo
18. Tamba
19. Tinambunan
20. Turnip
21. Nasionggang
22. Saing

Senin, 02 Mei 2011

asal usul danau toba

Asal Usul Danau Toba

February 9, 2010 oleh alibaba
Tersimpan pada Sejarah dan Budaya

Tinggalkan Komentar

Di Sumatera Utara terdapat danau yang sangat besar dan ditengah-tengah danau tersebut terdapat sebuah pulau. Danau itu bernama Danau Toba sedangkan pulau ditengahnya dinamakan Pulau Samosir. Konon danau tersebut berasal dari kutukan dewa.

Di sebuah desa di wilayah Sumatera, hidup seorang petani. Ia seorang petani yang rajin bekerja walaupun lahan pertaniannya tidak luas. Ia bisa mencukupi kebutuhannya dari hasil kerjanya yang tidak kenal lelah. Sebenarnya usianya sudah cukup untuk menikah, tetapi ia tetap memilih hidup sendirian. Di suatu pagi hari yang cerah, petani itu memancing ikan di sungai. “Mudah-mudahan hari ini aku mendapat ikan yang besar,” gumam petani tersebut dalam hati. Beberapa saat setelah kailnya dilemparkan, kailnya terlihat bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya. Petani itu bersorak kegirangan setelah mendapat seekor ikan cukup besar.

Ia takjub melihat warna sisik ikan yang indah. Sisik ikan itu berwarna kuning emas kemerah-merahan. Kedua matanya bulat dan menonjol memancarkan kilatan yang menakjubkan. “Tunggu, aku jangan dimakan! Aku akan bersedia menemanimu jika kau tidak jadi memakanku.” Petani tersebut terkejut mendengar suara dari ikan itu. Karena keterkejutannya, ikan yang ditangkapnya terjatuh ke tanah. Kemudian tidak berapa lama, ikan itu berubah wujud menjadi seorang gadis yang cantik jelita. “Bermimpikah aku?,” gumam petani.

“Jangan takut pak, aku juga manusia seperti engkau. Aku sangat berhutang budi padamu karena telah menyelamatkanku dari kutukan Dewata,” kata gadis itu. “Namaku Puteri, aku tidak keberatan untuk menjadi istrimu,” kata gadis itu seolah mendesak. Petani itupun mengangguk. Maka jadilah mereka sebagai suami istri. Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak boleh menceritakan bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar maka akan terjadi petaka dahsyat.

Setelah sampai di desanya, gemparlah penduduk desa melihat gadis cantik jelita bersama petani tersebut. “Dia mungkin bidadari yang turun dari langit,” gumam mereka. Petani merasa sangat bahagia dan tenteram. Sebagai suami yang baik, ia terus bekerja untuk mencari nafkah dengan mengolah sawah dan ladangnya dengan tekun dan ulet. Karena ketekunan dan keuletannya, petani itu hidup tanpa kekurangan dalam hidupnya. Banyak orang iri, dan mereka menyebarkan sangkaan buruk yang dapat menjatuhkan keberhasilan usaha petani. “Aku tahu Petani itu pasti memelihara makhluk halus! ” kata seseorang kepada temannya. Hal itu sampai ke telinga Petani dan Puteri. Namun mereka tidak merasa tersinggung, bahkan semakin rajin bekerja.

Setahun kemudian, kebahagiaan Petani dan istri bertambah, karena istri Petani melahirkan seorang bayi laki-laki. Ia diberi nama Putera. Kebahagiaan mereka tidak membuat mereka lupa diri. Putera tumbuh menjadi seorang anak yang sehat dan kuat. Ia menjadi anak manis tetapi agak nakal. Ia mempunyai satu kebiasaan yang membuat heran kedua orang tuanya, yaitu selalu merasa lapar. Makanan yang seharusnya dimakan bertiga dapat dimakannya sendiri.

Lama kelamaan, Putera selalu membuat jengkel ayahnya. Jika disuruh membantu pekerjaan orang tua, ia selalu menolak. Istri Petani selalu mengingatkan Petani agar bersabar atas ulah anak mereka. “Ya, aku akan bersabar, walau bagaimanapun dia itu anak kita!” kata Petani kepada istrinya. “Syukurlah, kanda berpikiran seperti itu. Kanda memang seorang suami dan ayah yang baik,” puji Puteri kepada suaminya.

Memang kata orang, kesabaran itu ada batasnya. Hal ini dialami oleh Petani itu. Pada suatu hari, Putera mendapat tugas mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang bekerja. Tetapi Putera tidak memenuhi tugasnya. Petani menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Ia langsung pulang ke rumah. Di lihatnya Putera sedang bermain bola. Petani menjadi marah sambil menjewer kuping anaknya. “Anak tidak tau diuntung ! Tak tahu diri ! Dasar anak ikan!”, umpat si Petani tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan itu.

Setelah petani mengucapkan kata-katanya, seketika itu juga anak dan istrinya hilang lenyap. Tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras dan semakin deras. Desa Petani dan desa sekitarnya terendam semua. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba. Sedangkan pulau kecil di tengahnya dikenal dengan nama

bakkara kelahiran raja batak

BAKKARA, KELAHIRAN SANG RAJA

Monang Naipospos

Banyak yang sudah tau, bahkan dunia banyak mengenal namanya. Sisingamangaraja, Raja orang Batak. Beliau mengaturkan hukum, adat, ketetaprajaan dengan konsep bius yang disempurnakan. Beliau menegakkan HAM, membebaskan orang dari pasungan, memberi pengampunan hukuman bagi yang bertobat dari kesalahan.

Lahir di Tombak Sulu-sulu Bakkara. Tempat yang indah, sebuah lembah di tepian Danau Toba yang dilintasi sungai Aek Silang dan Aek Simangira yang bertemu di Onan Lobu. Istana kerajaan pertama sekali dibangun di sekitar Onan Lobu. Disana masih ditemukan tanda sejarah berupa Hariara Parjuragatan dan Batu Hundulan. Kemudian Istana Kerajaan dibangun lebih ke hulu yang kemudian disebut Lumbanraja.

Lumbanraja sempat menjadi satu wilayah desa, namun saat ini Nama Desa itu dirobah menjadi Desa Simamora. Hilanglah aspek kesejarahan bahwa disitu dulunya ada perkampungan Raja Sisingamangaraja yang disebut Lumbanraja.

Upaya untuk menghilangkan legenda kerajaan Sisingamangaraja pun berlanjut. Kompleks istana diserobot oleh penduduk dan enggan untuk meninggalkannya. Penghargaan untuk kesakralan istana itu juga dihilangkan. Tidak hanya oleh penduduk setempat, keutuhan keluarga turunan Sinsingamangaraja pun sulit dipadukan. Sering beda pendapat.
Pemerintah mencoba untuk membangun istana tersebut. Master Plan sudah disusun. Keluarga dan masyarakat yang masih menghargai dan menghormati Sisingamangaraja juga sudah menyepakati. Tata karma kerajaan harus dipenuhi. Namun yang terjadi, bangunan yang dibangun pemerintah asal jadi. Dalam waktu satu tahun ada yang rubuh, sebagian yang sisa terancam rubuh. Dana rehab pun diupayakan, hasilnya tetap tidak memenuhi kualitas kesakralan bangunan yang diharapkan sewaktu penyusunan master plan. Kenapa ?

Turunan Siraja Oloan lebih dulu menunjukkan kekuatan mengingkari kesakralan kompleks istana. Mereka membangun monument Siraja Oloan yang besar dihadapan “Sogit” Sisingamangaraja yang seharusnya bebas mengarah matahari terbit. Didalam sogit itu dulunya Sisingamangaraja memanjatkan doa kepada Mulajadi Nabolon. Ada lambang burung “Patiaraja” diatasnya.
Dengan adanya monument Siraja Oloan dihadapannya ibarat “sibongbong ari” menghambat arah sogit menyambut matahari terbit.

Siraja Oloan adalah rumpun marga termasuk Sinambela. Sinambela adalah rumpun marga termasuh Bona Ni Onan. Bona Ni Onan adalah yang menurunkan “lahiriah” Raja Manghuntal, Raja Sisingamangaraja I dan berturut-turut hingga 12 dinasti.

Bila rumpun terdekat “hasuhuton” pemangku kerajaan Sisingamangaraja tidak memperdulikan kesakralan peribadatan dan kompleks istana Raja Sisingamangaraja, lalu siapa lagi?

Bakkara Sirajaoloan Batu�Siungkapon Runtuh Asaljadi Sumpek Sogit Jejal Kumuh

Bakkara, kelihatannya tidak memberikan ruang kepada pelestarian nilai sejarah Sisingamangaraja. Namun penghormatan masyarakat Batak di luar Siraja Oloan dan di luar Bakkara kepada Sisingamangaraja, tetap masih ada. Saat pemindahan tulang belulang Sisingamangaraja XII dari Tarutung misalnya, Balige sangat respon dan memberikan lokasi di Soposurung. Saat monument srikandi Lopian, putri Sisingamangaraja XII hendak dibangun, masyarakat Porsea respon dan memberikan lokasi di depan Kantor Camat Porsea. Walau akhirnya diketahui, sebagian keluarga Sisingamangaraja tidak sepakat pembuatan patung Lopian ditempatkan di Porsea.

Desa Lumbanraja telah dirobah menjadi Desa Simamora. Kompleks istana menjadi ajang orientasi proyek pelestarian yang tidak jelas juntrungannya. Penduduk dan keturunan Sisinganamngaraja masih enggan menyesuaikan dengan tata ruang yang sudah ada. Muncul bangunan baru tanpa sepengetahuan keluarga. Kuburan baru yang disesakkan didepan bangunan baru fasilitas istana. Runyam, pengertian dari kata “rundut” ibarat “jambulan ni parsigira”.
Bakkara saat ini tidak ada meninggalkan setitik pun sisa sejarah kearifan menandakan darisana dulu ada Raja Sakti yang sohor yaitu Sisingamangaraja. Hanya ada tanah dan batu, dan diberi tanda, disini dan disitu. Penduduk tidak memiliki nilai lebih sejarah, tradisi dan tata krama kerajaan.

Tak heran, bila masyarakat batak “heran”, kenapa kompleks istana ini dibiarkan seperti ajang rebutan proyek dan klaim pribadi?

Sisingamangaraja XII dulunya sudah tau akhir perjuangannya. Sebelum melakukan gerilya ke hutan belantara, diberikan amanat kepada Sionom Ompu (enam pemangku adat dari enam marga yang ada di Bakkara) dengan penitipan barang pusaka kerajaan. Seharusnya mereka dan keluarga Raja Sisingamangaraja menjadi “pemangku” tradisi Sisingamangaraja. Apa reaksi Sionom Ompu? Tentu saja keutuhan keluarga raja Sisingamangaraja harus terlihat. Arah dan tujuan pemugaran Istana Sisingamangaraja harus diemban keluarga. Mereka seharusnya didepan “manghobasi” memulai melaksanakan hajat itu. Pemerintah hanya mendukung, dan dukungan dari masyarakat kemungkinan lebih besar lagi.

batak

Menurut kepercayaan bangsa Batak, induk marga Batak dimulai dari Si Raja Batak yang diyakini sebagai asal mula orang Batak. Si Raja Batak mempunyai 2 (dua) orang putra yakni Guru Tatea Bulan dan Si Raja Isumbaon. Guru Tatea Bulan sendiri mempunyai 5 (lima) orang putra yakni Raja Uti (Raja Biakbiak), Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja dan Malau Raja. Sementara Si Raja Isumbaon mempunyai 3 (tiga) orang putra yakni Tuan Sorimangaraja, Si Raja Asiasi dan Sangkar Somalidang.

Dari keturunan (pinompar) mereka inilah kemudian menyebar ke segala penjuru daerah di Tapanuli baik ke utara maupun ke selatan sehingga munculah berbagai macam marga Batak. Semua marga-marga ini dapat dilihat kedudukan dari Si Raja Batak di Tarombo Online.

Legenda mengenai bagaimana Si Raja Batak dapat disebut sebagai asal mula orang Batak masih perlu dikaji lebih dalam.

Sebenarnya Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Tobasa, dan Samosir sekarang tidaklah semuanya Toba.Sejak masa Kerajaan Batak hingga pembagian wilayah yang didiami suku Batak ke dalam beberapa distrik oleh Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Tanah Batak dibagi menjadi 4 (empat) bagian besar, yaitu: - Samosir (Pulau Samosir dan sekitarnya); contoh: marga Simbolon,Sagala, dsb - Toba (Balige, Laguboti,Porsea, Parsoburan, Sigumpar, dan sekitarnya); contoh: marga Sitorus, Marpaung, dsb - Humbang (Dolok Sanggul, Lintongnihuta, Siborongborong, dan sekitarnya); contoh: marga Simatupang Siburian, Sihombing Lumban Toruan, dsb - Silindung (Sipoholon, Tarutung, Pahae, dan sekitarnya); contoh: marga Naipospos (Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun), Huta Barat,dsb
[sunting] Hubungan Antar Marga

Hubungan antar marga di masing-masing suku Batak berbeda jenisnya. Pada Suku Batak (Samosir-Toba-Humbang-Silindung) hubungan marga ini dapat dilihat dari asal muasal marga tersebut pada garis keturunan Raja Batak. Semakin dekat dengan Raja Batak, maka semakin dituakanlah marga tersebut.

Satu hal yang pasti, 2 orang yang bermarga sejenis (tidak harus sama) secara hukum adat tidak diperbolehkan untuk menikah. Pelanggaran terhadap hukum ini akan mendapat sangsi secara adat.

Tidak ada pengklasifikasian tertentu atas jenis-jenis marga ini, namun marga-marga biasanya sering dihubungkan dengan rumpunnya sebagaimana Bahasa Batak. Misalnya Simatupang merupakan perpaduan dari putranya marga Togatorop, Sianturi, dan Siburian yang ada di wilayah HUMBANG. Naipospos merupakan perpaduan dari kelima putranya yang secara berurutan, yaitu marga Sibagariang, Huta Uruk, Simanungkalit, Situmeang, dan Marbun yang berada di wilayah SILINDUNG, dan sebagainya.
[sunting] Tarombo
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Tarombo

Silsilah atau tarombo merupakan cara orang batak menyimpan daftar silsilah marga mereka masing-masing dan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai "orang Batak kesasar" (nalilu). Orang Batak khusunya lelaki diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.

Beberapa contoh artikel yang membahas tarombo dari marga-marga Batak yaitu:

* Silaban
* Raja Naipospos, yang mempunyai lima putera dan menurunkan marga Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun Lumban Batu, Marbun Banjar Nahor, Marbun Lumban Gaol
* Si Opat Pusoran, yang menurunkan marga Hutabarat, Panggabean, Simorangkir, Hutagalung, Hutapea, Lumban Tobing

bentuk klan adalah berupa suatu kumpulan orang per orang yang mempunyai satu bapak dan bisa beberapa ibu, karena suku batak menganut parternalistik

asal usul batak

Penelusuran sejarah, sebuah upaya yang bagi sebagian orang merupakan pekerjaan “kurang pekerjaan”. Tetapi, jika difikir lebih dalam, setiap manusia pernah atau paling tidak sekali dalam hidupnya pernah berkecmuk tanya, “saya ini dari mana awalnya?”, “suku kami dari mana datangnya”, “Batak ini darimana asal muasalnya?”

Nah, walaupun tidak bisa menjawab secara tepat atau utuh, tulisan pendek ini bisa jadi dibuat sebagai “pengganggu” fikiran kita untuk mulai melakukan pencarian jawaban tentang Apa dan Bagaimana Batak?

Versi sejarah mengatakan Si Raja Batak dan rombongannya datang dari Thailand, terus ke Semenanjung Malaysia lalu menyeberang ke Sumatera dan menghuni Sianjur Mula Mula, lebih kurang 8 km arah Barat Pangururan, pinggiran Danau Toba sekarang. Versi lain mengatakan, dari India melalui Barus atau dari Alas Gayo berkelana ke Selatan hingga bermukim di pinggir Danau Toba.

Diperkirakan Si Raja Batak hidup sekitar tahun 1200 (awal abad ke- 13). Raja Sisingamangaraja XII salah satu keturunan Si Raja Batak yang merupakan generasi ke-19 (wafat 1907), maka anaknya bernama Si Raja Buntal adalah generasi ke-20.

Batu bertulis (prasasti) di Portibi bertahun 1208 yang dibaca Prof. Nilakantisasri (Guru Besar Purbakala dari Madras, India) menjelaskan bahwa pada tahun 1024 kerajaan COLA dari India menyerang SRIWIJAYA yang menyebabkan bermukimnya 1.500 orang TAMIL di Barus.

Pada tahun 1275 MOJOPAHIT menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah Pane, Haru, Padang Lawas. Sekitar rahun 1.400 kerajaan NAKUR berkuasa di sebelah Timur Danau Toba, Tanah Karo dan sebagian Aceh.

Dengan memperhatikan tahun tahun dan kejadian di atas diperkirakan: Si Raja Batak adalah seorang aktivis kerajaan dari Timur Danau Toba (Simalungun sekarang), dari Selatan Danau Toba (Portibi) atau dari Barat Danau Toba (Barus) yang mengungsi ke pedalaman, akibat terjadi konflik dengan orang-orang Tamil di Barus. Akibat serangan Mojopahit ke Sriwijaya, Si Raja Batak yang ketika itu pejabat Sriwijaya yang ditempatkan di Portibi, Padang Lawas dan sebelah Timur Danau Toba (Simalungun).

Sebutan Raja kepada Si Raja Batak diberikan oleh keturunannya karena penghormatan, bukan karena rakyat menghamba kepadanya. Demikian halnya keturunan Si Raja Batak seperti Si Raja Lontung, Si Raja Borbor, Si Raja Oloan, dsb. Meskipun tidak memiliki wilayah kerajaan dan rakyat yang diperintah. Selanjutnya menurut buku TAROMBO BORBOR MARSADA anak Si Raja Batak ada 3 (tiga) orang yaitu : GURU TETEA BULAN, RAJA ISUMBAON dan TOGA LAUT. Dari ketiga orang inilah dipercaya terbentuknya marga-marga batak

Sumber: disarikan dari buku “LELUHUR MARGA MARGA BATAK, DALAM SEJARAH

SILSILAH DAN LEGENDA” cet. ke-2 (1997) oleh Drs Richard Sinaga,

asal usul marga batak

SI RAJA BATAK mempunyai 2 orang putra, yaitu :

1. GURU TATEA BULAN.
2. RAJA ISOMBAON.GURU TATEA BULAN

Dari istrinya yang bernama SI BORU BASO BURNING, GURU TATEA BULAN memperoleh 5 orang putra dan 4 orang putri, yaitu :

- Putra :
a. SI RAJA BIAK-BIAK, pergi ke daerah Aceh.
b. TUAN SARIBURAJA.
c. LIMBONG MULANA.
d. SAGALA RAJA.
e. MALAU RAJA.

- Putri :
1. SI BORU PAREME, kawin dengan TUAN SARIBURAJA.
2. SI BORU ANTING SABUNGAN, kawin dengan TUAN SORIMANGARAJA, putra RAJA ISOMBAON.
3. SI BORU BIDING LAUT, juga kawin dengan TUAN SORIMANGARAJA.
4. SI BORU NAN TINJO, tidak kawin (banci).

TATEA BULAN artinya "TERTAYANG BULAN" = "TERTATANG BULAN".
RAJA ISOMBAON (RAJA ISUMBAON) RAJA ISOMBAON artinya RAJA YANG DISEMBAH. Isombaon kata dasarnya somba (sembah).

Semua keturunan SI RAJA BATAK dapat dibagi atas 2 golongan besar :
a. Golongan TATEA BULAN = Golongan Bulan = Golongan (Pemberi) Perempuan. Disebut juga GOLONGAN HULA-HULA = MARGA LONTUNG.
b. Golongan ISOMBAON = Golongan Matahari = Golongan Laki-laki. Disebut juga GOLONGAN BORU = MARGA SUMBA.

Kedua golongan tersebut dilambangkan dalam bendera Batak (bendera SI SINGAMANGARAJA), dengan gambar matahari dan bulan. Jadi, gambar matahari dan bulan dalam bendera tersebut melambangkan seluruh keturunan SI RAJA BATAK.

SARIBURAJA dan Marga-marga Keturunannya SARIBURAJA adalah nama putra kedua dari GURU TATEA BULAN. Dia dan adik kandungnya perempuan yang bernama SI BORU PAREME dilahirkan marporhas (anak kembar berlainan jenis).
Mula-mula SARIBURAJA kawin dengan NAI MARGIRING LAUT, yang melahirkan putra bernama RAJA IBORBORON (BORBOR). Tetapi kemudian SI BORU PAREME menggoda abangnya SARIBURAJA, sehingga antara mereka terjadi perkawinan incest.
Setelah perbuatan melanggar adat itu diketahui oleh saudara-saudaranya, yaitu LIMBONG MULANA, SAGALA RAJA, dan MALAU RAJA, maka ketiga bersaudara tersebut sepakat untuk membunuh SARIBURAJA. Akibatnya SARIBURAJA menyelamatkan diri dan pergi mengembara ke hutan Sabulan meninggalkan SI BORU PAREME yang sedang dalam keadaan hamil.

Ketika SI BORU PAREME hendak bersalin, dia dibuang oleh saudara-saudaranya ke hutan belantara, Tetapi di hutan tersebut SARIBURAJA kebetulan bertemu kembali dengan SI BORU PAREME.
SARIBURAJA datang bersama seekor harimau betina yang sebelumnya telah dipeliharanya menjadi "istrinya" di hutan itu. Harimau betina itulah yang kemudian merawat serta memberi makan SI BORU PAREME di dalam hutan. SI BORU PAREME kemudian melahirkan seorang putra yang diberi nama SI RAJA LONTUNG.

Dari istrinya sang harimau, SARIBURAJA memperoleh seorang putra yang diberi nama SI RAJA BABIAT. Di kemudian hari SI RAJA BABIAT mempunyai banyak keturunan di daerah Mandailing. Mereka bermarga BAYOANGIN, karena selalu dikejar-kejar dan diintip oleh saudara-saudaranya.

SARIBURAJA kemudian berkelana ke daeerah Angkola dan seterusnya ke Barus. SI RAJA LONTUNG, Putra pertama dari TUAN SARIBURAJA. Mempunyai 7 orang putra dan 2 orang putri, yaitu :

- Putra :
a. TUAN SITUMORANG, keturunannya bermarga SITUMORANG.
b. SINAGA RAJA, keturunannya bermarga SINAGA.
c. PANDIANGAN, keturunannya bermarga PANDIANGAN.
d. TOGA NAINGGOLAN, keturunannya bermarga NAINGGOLAN.
e. SIMATUPANG, keturunannya bermarga SIMATUPANG.
f. ARITONANG, keturunannya bermarga ARITONANG.
g. SIREGAR, keturunannya bermarga SIREGAR.

- Putri :
a. SI BORU ANAKPANDAN, kawin dengan TOGA SIHOMBING.
b. SI BORU PANGGABEAN, kawin dengan TOGA SIMAMORA.

Karena semua putra dan putri dari SI RAJA LONTUNG berjumlah 9 orang, maka mereka sering dijuluki dengan nama LONTUNG SI SIA MARINA, PASIA BORUNA SIHOMBING SIMAMORA. SI SIA
MARINA = SEMBILAN SATU IBU.

Dari keturunan SITUMORANG, lahir marga-marga cabang LUMBAN PANDE, LUMBAN NAHOR, SUHUTNIHUTA, SIRINGORINGO,
SITOHANG, RUMAPEA, PADANG, SOLIN.

Dari keturunan SINAGA, lahir marga-marga cabang SIMANJORANG, SIMANDALAHI, BARUTU. Dari keturunan PANDIANGAN, lahir
marga-marga cabang SAMOSIR, GULTOM, PAKPAHAN, SIDARI, SITINJAK, HARIANJA.

Dari keturunan NAINGGOLAN, lahir marga-marga cabang RUMAHOMBAR, PARHUSIP, BATUBARA, LUMBAN TUNGKUP, LUMBAN SIANTAR, HUTABALIAN, LUMBAN RAJA, PUSUK, BUATON, NAHULAE.

Dari keturunan SIMATUPANG lahir marga-marga cabang
TOGATOROP (SITOGATOROP), SIANTURI, SIBURIAN.

Dari keturunan ARITONANG, lahir marga-marga cabang OMPU SUNGGU, RAJAGUKGUK, SIMAREMARE.

Dari keturunan SIREGAR, lahir marga-marga cabang SILO, DONGARAN, SILALI, SIAGIAN, RITONGA, SORMIN.

SI RAJA BORBOR Putra kedua dari TUAN SARIBURAJA, dilahirkan
oleh NAI MARGIRING LAUT. Semua keturunannya disebut marga BORBOR. Cucu RAJA BORBOR yang bernama DATU TALADIBABANA (generasi keenam) mempunyai 6 orang putra, yang menjadi asal-usul marga-marga berikut :
1. DATU DALU (SAHANGMAIMA), Keturunan DATU DALU melahirkan marga-marga berikut :
a. PASARIBU, BATUBARA, HABEAHAN, BONDAR, GORAT.
b. TINENDANG, TANGKAR.
c. MATONDANG.
d. SARUKSUK.
e. TARIHORAN.
f. PARAPAT.
g. RANGKUTI.

2. SIPAHUTAR, keturunannya bermarga SIPAHUTAR.
3. HARAHAP, keturunannya bermarga HARAHAP.
4. TANJUNG, keturunannya bermarga TANJUNG.
5. DATU PULUNGAN, keturunannya bermarga PULUNGAN.
6. SIMARGOLANG, keturunannya bermarga SIMARGOLANG.

Keturunan DATU PULUNGAN melahirkan marga-marga LUBIS dan HUTASUHUT. LIMBONG MULANA dan Marga-marga Keturunannya LIMBONG MULANA adalah putra ketiga dari GURU TATEA BULAN. Keturunannya bermarga LIMBONG. Dia mempunyai 2 orang putra, yaitu PALU ONGGANG dan LANGGAT LIMBONG.
Putra dari LANGGAT LIMBONG ada 3 orang. Keturunan dari putranya yang kedua kemudian bermarga SIHOLE dan keturunan dari putranya yang ketiga kemudian bermarga HABEAHAN. Yang lainnya tetap memakai marga induk, yaitu LIMBONG.

SAGALA RAJA Putra keempat dari GURU TATEA BULAN. Sampai sekarang keturunannya tetap memakai marga SAGALA.

LAU RAJA dan Marga-marga Keturunannya LAU RAJA adalah putra kelima dari GURU TATEA BULAN. Keturunannya bermarga MALAU. Dia mempunyai 4 orang putra, yaitu :
a. PASE RAJA, keturunannya bermarga PASE.
b. AMBARITA, keturunannya bermarga AMBARITA.
c. GURNING, keturunannya bermarga GURNING.
d. LAMBE RAJA, keturunannya bermarga LAMBE. Salah seorang keturunan LAU RAJA diberi nama MANIK RAJA, yang kemudian menjadi asal-usul lahirnya marga MANIK.

TUAN SORIMANGARAJA dan Marga-marga KeturunannyaTUAN SORIMANGARAJA adalah putra pertama dari RAJA ISOMBAON. Dari ketiga putra RAJA ISOMBAON, dialah satu-satunya yang tinggal di Pusuk Buhit (di Tanah Batak). Istrinya ada 3 orang, yaitu :
a. SI BORU ANTING MALELA (NAI RASAON), putri dari GURU TATEA BULAN.
b. SI BORU BIDING LAUT (NAI AMBATON), juga putri dari GURU TATEA BULAN.
c. SI BORU SANGGUL HAOMASAN (NAI SUANON).

SI BORU ANTING MALELA melahirkan putra yang bernama TUAN SORBA DJULU (OMPU RAJA NABOLON), gelar NAI AMBATON.

SI BORU BIDING LAUT melahirkan putra yang bernama TUAN SORBA DIJAE (RAJA MANGARERAK), gelar NAI RASAON.
SI BORU SANGGUL HAOMASAN melahirkan putra yang bernama TUAN SORBADIBANUA, gelar NAI SUANON.

NAI AMBATON (TUAN SORBA DJULU / OMPU RAJA NABOLON) Nama (gelar) putra sulung TUAN SORIMANGARAJA lahir dari istri pertamanya yang bernama NAI AMBATON. Nama sebenarnya adalah OMPU RAJA NABOLON, tetapi sampai sekarang keturunannya bermarga NAI AMBATON menurut nama ibu leluhurnya.NAI AMBATON mempunyai 4 orang putra, yaitu :
a. SIMBOLON TUA, keturunannya bermarga SIMBOLON.
b. TAMBA TUA, keturunannya bermarga TAMBA.
c. SARAGI TUA, keturunannya bermarga SARAGI.
d. MUNTE TUA, keturunannya bermarga MUNTE (MUNTE, NAI MUNTE, atau DALIMUNTE). Dari keempat marga pokok tersebut, lahir marga-marga cabang sebagai berikut (menurut buku "Tarombo Marga Ni Suku Batak" karangan W. Hutagalung) :

a. Dari SIMBOLON : TINAMBUNAN, TUMANGGOR, MAHARAJA, TURUTAN, NAHAMPUN, PINAYUNGAN. Juga marga-marga BERAMPU dan PASI.
b. Dari TAMBA : SIALLAGAN, TOMOK, SIDABUTAR, SIJABAT, GUSAR, SIADARI, SIDABOLAK, RUMAHORBO, NAPITU.
c. Dari SARAGI : SIMALANGO, SAING, SIMARMATA, NADEAK, SIDABUNGKE.
d. Dari MUNTE : SITANGGANG, MANIHURUK, SIDAURUK, TURNIP, SITIO, SIGALINGGING.

Keterangan lain mengatakan bahwa NAI AMBATON mempunyai 2 orang putra, yaitu SIMBOLON TUA dan SIGALINGGING.
SIMBOLON TUA mempunyai 5 orang putra, yaitu SIMBOLON, TAMBA, SARAGI, MUNTE, dan NAHAMPUN. Walaupun keturunan NAI AMBATON sudah terdiri dari berpuluih-puluh marga dan sampai sekarang sudah lebih dari 20 sundut (generasi), mereka masih mempertahankan Ruhut Bongbong, yaitu peraturan yang melarang perkawinan antar sesama marga keturunan NAI AMBATON.
Catatan mengenai OMPU BADA, menurut buku "Tarombo Marga Ni Suku Batak" karangan W. Hutagalung, OMPU BADA tersebut adalah keturunan NAI AMBATON pada sundut kesepuluh.Menurut keterangan dari salah seorang keturunan OMPU BADA (MPU BADA) bermarga GAJAH, asal-usul dan silsilah mereka adalah sebagai berikut :
a. MPU BADA ialah asal-usul dari marga-marga TENDANG, BUNUREA, MANIK, BERINGIN, GAJAH, dan BARASA.
b. Keenam marga tersebut dinamai SIENEMKODIN (Enem = enam, Kodin = periuk) dan nama tanah asal keturunan MPU BADA pun dinamai SIENEMKODIN.
c. MPU BADA bukan keturunan NAI AMBATON, juga bukan keturunan SI RAJA BATAK dari Pusuk Buhit.
d. Lama sebelum SI RAJA BATAK bermukim di Pusuk Buhit, OMPU BADA telah ada di tanah Dairi. Keturunan MPU BADA merupakan ahli-ahli yang trampil (pawang) untuk mengambil serta mengumpulkan kapur barus yang diekspor ke luar negeri selama berabad-abad.
e. Keturunan MPU BADA menganut sistem kekerabatan Dalihan Natolu seperti yang dianut oleh saudara-saudaranya dari Pusuk Buhit yang datang ke tanah Dairi dan Tapanuli bagian barat.

NAI RASAON (RAJA MANGARERAK) : nama (gelar) putra kedua dari TUAN SORIMANGARAJA, lahir dari istri kedua TUAN SORIMANGARAJA yang bernama NAI RASAON. Nama sebenarnya ialah RAJA MANGARERAK, tetapi hingga sekarang semua keturunan RAJA MANGARERAK lebih sering dinamai orang NAI RASAON. RAJA MANGARERAK mempunyai 2 orang putra, yaitu RAJA MARDOPANG dan RAJA MANGATUR.

Ada 4 marga pokok dari keturunan RAJA MANGARERAK :
a. Dari RAJA MARDOPANG, menurut nama ketiga putranya, lahir marga-marga SITORUS, SIRAIT, dan BUTAR BUTAR.
b. Dari RAJA MANGATUR, menurut nama putranya, TOGA MANURUNG, lahir marga MANURUNG. Marga PANE adalah marga cabang dari SITORUS.
NAI SUANON (TUAN SORBADIBANUA) : nama (gelar) putra ketiga dari TUAN SORIMANGARAJA, lahir dari istri ketiga TUAN SORIMANGARAJA yang bernama NAI SUANON. Nama sebenarnya
ialah TUAN SORBADIBANUA, dan di kalangan keturunannya lebih sering dinamai TUAN SORBADIBANUA. TUAN SORBADIBANUA mempunyai 2 orang istri dan memperoleh 8 orang putra. Dari istri pertama (putri SARIBURAJA) :
a. SI BAGOT NI POHAN, keturunannya bermarga POHAN.
b. SI PAET TUA.
c. SI LAHI SABUNGAN, keturunannya bermarga SILALAHI.
d. SI RAJA OLOAN.
e. SI RAJA HUTA LIMA. Dari istri kedua (BORU SIBASOPAET, putri Mojopahit) :
a. SI RAJA SUMBA.
b. SI RAJA SOBU.
c. TOGA NAIPOSPOS, keturunannya bermarga NAIPOSPOS. Keluarga TUAN SORBADIBANUA bermukim di Lobu Parserahan - Balige. Pada suatu ketika, terjadi peristiwa yang unik dalam keluarga tersebut. Atas ramalan atau anjuran seorang datu, TUAN SORBADIBANUA menyuruh kedelapan putranya bermain perang-perangan. Tanpa sengaja, mata SI RAJA HUTA LIMA terkena oleh lembing SI RAJA SOBU. Hal tersebut
mengakibatkan emosi kedua istrinya beserta putra-putra mereka masing-masing, yang tak dapat lagi diatasi oleh TUAN SORBADIBANUA. Akibatnya, istri keduanya bersama putra-putranya yang 3 orang pindah ke Lobu Gala-gala di kaki gunung Dolok Tolong sebelah barat.
Keturunan TUAN SORBADIBANUA berkembang dengan pesat, yang melahirkan lebih dari 100 marga hingga dewasa ini.

Keturunan SI BAGOT NI POHAN melahirkan marga dan marga cabang berikut :
a. TAMPUBOLON, BARIMBING, SILAEN.
b. SIAHAAN, SIMANJUNTAK, HUTAGAOL, NASUTION.
c. PANJAITAN, SIAGIAN, SILITONGA, SIANIPAR, PARDOSI.
d. SIMANGUNSONG, MARPAUNG, NAPITUPULU, PARDEDE.

Keturunan SI PAET TUA melahirkan marga dan marga cabang berikut :
a. HUTAHAEAN, HUTAJULU, ARUAN.
b. SIBARANI, SIBUEA, SARUMPAET.
c. PANGARIBUAN, HUTAPEA

Keturunan SI LAHI SABUNGAN melahirkan marga dan marga cabang berikut :
a. SIHALOHO.
b. SITUNGKIR, SIPANGKAR, SIPAYUNG.
c. SIRUMASONDI, RUMASINGAP, DEPARI.
d. SIDABUTAR.
e. SIDABARIBA, SOLIA.
f. SIDEBANG, BOLIALA.
g. PINTUBATU, SIGIRO.
h. TAMBUN (TAMBUNAN), DOLOKSARIBU, SINURAT, NAIBORHU, NADAPDAP, PAGARAJI, SUNGE, BARUARA, LUMBAN PEA, LUMBAN GAOL.

Keturunan SI RAJA OLOAN melahirkan marga dan marga cabang berikut:
a. NAIBAHO, UJUNG, BINTANG, MANIK, ANGKAT, HUTADIRI, SINAMO, CAPA.
b. SIHOTANG, HASUGIAN, MATANIARI, LINGGA, MANIK.
c. BANGKARA.
d. SINAMBELA, DAIRI.
e. SIHITE, SILEANG.
f. SIMANULLANG.

Keturunan SI RAJA HUTA LIMA melahirkan marga dan marga cabang berikut:
a. MAHA.
b. SAMBO.
c. PARDOSI, SEMBIRING MELIALA.

Keturunan SI RAJA SUMBA melahirkan marga dan marga cabang berikut:
a. SIMAMORA, RAMBE, PURBA, MANALU, DEBATARAJA, GIRSANG, TAMBAK, SIBORO.
b. SIHOMBING, SILABAN, LUMBAN TORUAN, NABABAN, HUTASOIT, SITINDAON, BINJORI.

Keturunan SI RAJA SOBU melahirkan marga dan marga cabang berikut:
a. SITOMPUL.
b. HASIBUAN, HUTABARAT, PANGGABEAN, HUTAGALUNG, HUTATORUAN, SIMORANGKIR, HUTAPEA, LUMBAN TOBING, MISMIS.

Keturunan TOGA NAIPOSPOS melahirkan marga dan marga cabang berikut:
a. MARBUN, LUMBAN BATU, BANJARNAHOR, LUMBAN GAOL, MEHA, MUNGKUR, SARAAN.
b. SIBAGARIANG, HUTAURUK, SIMANUNGKALIT, SITUMEANG.

***DONGAN SAPADAN (TEMAN SEIKRAR, TEMAN SEJANJI)

Dalam masyarakat Batak, sering terjadi ikrar antara suatu marga dengan marga lainnya. Ikrar tersebut pada mulanya terjadi antara satu keluarga
dengan keluarga lainnya atau antara sekelompok keluarga dengan sekelompok keluarga lainnya yang marganya berbeda. Mereka berikrar akan memegang teguh janji tersebut serta memesankan kepada keturunan masing-masing untuk tetap diingat, dipatuhi, dan dilaksanakan dengan setia. Walaupun berlainan marga, tetapi dalam setiap marga pada umumnya ditetapkan ikatan, agar kedua belah pihak yang berikrar itu saling menganggap sebagai dongan sabutuha (teman semarga). Konsekuensinya adalah bahwa setiap pihak yang berikrar wajib menganggap putra dan putri dari teman ikrarnya sebagai putra dan putrinya sendiri. Kadang-kadang ikatan kekeluargaan karena ikrar atau padan lebih erat daripada ikatan kekeluargaan karena marga. Karena ada perumpamaan Batak mengatakan sebagai berikut: "Togu urat ni bulu, toguan urat ni padang; Togu nidok ni uhum, toguan nidok ni padan", artinya: "Teguh akar bambu, lebih teguh akar rumput; Teguh ikatan hukum, lebih teguh ikatan janji". Masing-masing ikrar tersebut mempunyai riwayat tersendiri. Marga-marga yang mengikat ikrar antara lain adalah:
a. MARBUN dengan SIHOTANG.
b. PANJAITAN dengan MANULLANG.
c. TAMPUBOLON dengan SITOMPUL.
d. SITORUS dengan HUTAJULU - HUTAHAEAN - ARUAN.
e. NAHAMPUN dengan SITUMORANG.

CATATAN TAMBAHAN:

1. Selain PANE, marga-marga cabang lainnya dari SITORUS adalah BOLTOK dan DORI.

2. Marga-marga PANJAITAN, SILITONGA, SIANIPAR, SIAGIAN, dan PARDOSI tergabung dalan suatu punguan (perkumpulan) yang bernama TUAN DIBANGARNA.
Menurut yang saya ketahui, dahulu antar seluruh marga TUAN DIBANGARNA ini tidak boleh saling kawin. Tetapi entah kapan ada perjanjian khusus antara marga SIAGIAN dan PANJAITAN, bahwa sejak saat itu antar mereka (kedua marga itu) boleh saling kawin.

3. Marga SIMORANGKIR adalah salah satu marga cabang dari PANGGABEAN. Marga-marga cabang lainnya adalah LUMBAN RATUS dan LUMBAN SIAGIAN.

4. Marga PANJAITAN selain mempunyai ikatan janji (padan) dengan marga SIMANULLANG, juga dengan marga-marga SINAMBELA dan SIBUEA.

5. Marga SIMANJUNTAK terbagi 2, yaitu HORBOJOLO dan HORBOPUDI. Hubungan antara kedua marga cabang ini tidaklah harmonis alias bermusuhan selama bertahun-tahun, bahkan sampai sekarang. (mereka yang masih bermusuhan sering dikecam oleh batak lainnya dan dianggap batak bodoh)

6. TAMPUBOLON mempunyai putra-putra yang bernama BARIMBING, SILAEN, dan si kembar LUMBAN ATAS & SIBULELE. Nama-nama dari mereka tersebut menjadi nama-nama marga cabang dari TAMPUBOLON (sebagaimana biasanya cara pemberian nama marga cabang pada marga-marga lainnya).

7. Pada umumnya, jika seorang mengatakan bahwa dia bermarga SIAGIAN, maka itu adalah SIAGIAN yang termasuk TUAN DIBANGARNA, jadi bukan SIAGIAN yang merupakan marga cabang dari SIREGAR ataupun LUMBAN SIAGIAN yang merupakan marga cabang dari PANGGABEAN. Selanjutnya biasanya marga SIAGIAN dari TUAN DIBANGARNA akan bertarombo kembali menanyakan asalnya dan nomor keturunan. Kebetulan saya marga SIAGIAN dari PARPAGALOTE.

8. Marga SIREGAR, selain terdapat di suku Batak Toba, juga terdapat di suku Batak Angkola (Mandailing). Yang di Batak Toba biasa disebut "Siregar Utara", sedangkan yang di Batak Angkola (Mandailing) biasa disebut "Siregar Selatan".

9. Marga-marga TENDANG, BUNUREA, MANIK, BERINGIN, GAJAH, BARASA, NAHAMPUN, TUMANGGOR, ANGKAT, BINTANG, TINAMBUNAN, TINENDANG, BARUTU, HUTADIRI, MATANIARI, PADANG, SIHOTANG, dan SOLIN juga terdapat di suku Batak Pakpak (Dairi).

10. Di suku Batak Pakpak (Dairi) terdapat beberapa padanan marga yaitu:
a. BUNUREA disebut juga BANUREA.
b. TUMANGGOR disebut juga TUMANGGER.
c. BARUTU disebut juga BERUTU.
d. HUTADIRI disebut juga KUDADIRI.
e. MATANIARI disebut juga MATAHARI.
f. SIHOTANG disebut juga SIKETANG.

11. Marga SEMBIRING MELIALA juga terdapat di suku Batak Karo. SEMBIRING adalah marga induknya, sedangkan MELIALA adalah salah satu marga cabangnya.

12. Marga DEPARI juga terdapat di suku Batak Karo. Marga tersebut juga merupakan salah satu marga cabang dari SEMBIRING.

13. Jangan keliru (bedakan):
a. SITOHANG dengan SIHOTANG.
b. SIADARI dengan SIDARI.
c. BUTAR BUTAR dengan SIDABUTAR.
d. SARAGI (Batak Toba) tanpa huruf abjad "H" dengan SARAGIH (Batak Simalungun) ada huruf abjad "H".

14. Entah kebetulan atau barangkali memang ada kaitannya, marga LIMBONG juga terdapat di suku Toraja di pulau Sulawesi.

15. Marga PURBA juga terdapat di suku Batak Simalungun.

Mauliate godang, Horas.........

sinaga

Sinaga adalah salah satu marga pada suku Simalungun. Pada masyarakat Simalungun marga Sinaga merupakan bagian dari perkumpulan empat marga besar SISADAPUR. Pada versi lain, Sinaga juga dianggap sebagai salah satu marga pada Suku bangsa Batak yang berasal dari Pulau Samosir.
Daftar isi
[sembunyikan]

* 1 Asal-usul
o 1.1 Versi Toba
o 1.2 Versi Simalungun
* 2 Submarga Sinaga
* 3 Tokoh terkenal
* 4 Marga Simalungun lain
* 5 Catatan kaki
* 6 Pranala luar

[sunting] Asal-usul
[sunting] Versi Toba

Menurut versi Toba, Sinaga adalah satu di antara marga-marga tertua di dalam kumpulan Marga Suku Batak. Dalam cerita masyarakat Batak, Raja Batak memiliki anak yang bernama Guru Tetea Bulan yang menikahi Putri Khayangan dan melahirkan dua anak yaitu Nai Lontungan dan Sumba. Nai Lontungan kemudian memiliki 5 putra yaitu Raja Uti, Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja, Silau Raja, dan 1 putri yaitu Boru Pareme. Saribu Raja menikahi Boru Pareme dan memiliki keturunan yang diberi nama Si Raja Lontung. Si Raja Lontung menikahi Ibu Kandungnya tadi dan memiliki 4 anak, yaitu: Sinaga, Situmorang, Pandiangan dan Nainggolan. Si Raja Lontung kemudian merantau ke Tepian Danau Toba dan menikah dengan Boru Limbong dan memiliki anak 3 anak (Simatupang, Aritonang dan Siregar) dan 2 orang putri yang masing-masing menikah dengan marga Sihombing dan Simamora. Anak Si Raja Lontung yang pertama yaitu Sinaga memiliki Tiga Putra yaitu:

1. Bonor
2. Ratus
3. Uruk.

Ketiga anaknya ini kemudian masing-masing memiliki Tiga Putra.

Berdasarkan silsilah diataslah maka di Marga Sinaga terdapat sebuah Istilah yaitu Si Sia Ama, Si Tolu Ompu yang berarti "memiliki Sembilan Bapak dan Tiga Ompu(kakek)."

Dalam perkembangannya Keturunan Sinaga merantau ke seluruh wilayah Tanah Batak, hal tersebut mengakibatkan terciptanya marga-marga baru (sub Marga) Sinaga, namun marga-marga baru tersebut tetap meyakini bahwa leluhur mereka adalah Sinaga. Adapun Marga-Marga tersebut antara lain Parangin-angin (Karo).
[sunting] Versi Simalungun

Menurut versi Simalungun, Sinaga menjadi salah satu dari 4 marga asli suku Simalungun saat terjadi “Harungguan Bolon” (permusyawaratan besar) antara 4 raja besar (Raja Nagur, Raja Banua Sobou, Raja Banua Purba, Raja Saniang Naga) untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan (marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh).

Keturunan dari Raja Saniang Naga di atas adalah marga Sinaga di Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan. Saat kerajaan Majapahit melakukan ekspansi di Sumatera pada abad XIV, pasukan dari Jambi yang dipimpin Panglima Bungkuk melarikan diri ke kerajaan Batangiou dan mengaku bahwa dirinya adalah Sinaga. Menurut Taralamsyah Saragih, nenek moyang mereka ini kemudian menjadi raja Tanoh Djawa dengan marga Sinaga Dadihoyong setelah ia mengalahkan Tuan Raya Si Tonggang marga Sinaga dari kerajaan Batangiou dalam suatu ritual adu sumpah (Sibijaon).[1]

Beberapa sumber mengatakan bahwa Sinaga keturunan raja Tanoh Djawa berasal dari India, salah satunya adalah menurut Tuan Gindo Sinaga keturunan dari Tuan Djorlang Hatara. Beberapa keluarga besar Partongah Raja Tanoh Djawa menghubungkannya dengan daerah Naga Land (Tanah Naga) di India Timur yang berbatasan dengan Myanmar yang memang memiliki banyak persamaan dengan adat kebiasaan, postur wajah dan anatomi tubuh serta bahasa dengan suku Simalungun dan Batak lainnya.[2]
[sunting] Submarga Sinaga

Perbauran suku asli Simalungun dengan suku-suku di sekitarnya menimbulkan afiliasi marga-marga lain dengan Sinaga. Marga-marga tersebut antara lain Sipayung, Sihaloho, Sinurat, dan Sitopu.

damanik

Damanik adalah marga atau morga dari suku Simalungun yang aslinya berasal dari daerah yang bernama Simalungun di provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), yang mana dalam bahasa Simalungun Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas). TM. Muhar Omtatok menguraikan bahwa Damanik merupakan marga tertua dari suku Simalungun dan Batak. TM Muhar Omtatok juga mengungkapkan bahwa Damanik telah ada sejak kepercayaan lokal ada di Sumatera.
[sunting] Asal-usul

Beberapa versi sumber sejarah menyatakan bahwa leluhur marga Damanik dan marga-marga lain dalam Suku Simalungun berasal dari Nagore (India Selatan) dan Pegunungan Assam (India Timur) di sekitar abad ke-5 , menyusuri Birma, ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan Kerajaan Nagur dari raja dinasti Damanik.[1]

Tuan Taralamsyah Saragih menceritakan bahwa rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4 Raja-raja besar dari Siam dan India ini bergerak dari Sumatera Timur ke Aceh, Langkat, Bangun Purba, hingga ke Bandar Khalipah sampai Batubara.

Pada abad ke-12, keturunan Raja Nagur mendapat serangan dari Raja Rajendra Chola I dari India, yang mengakibatkan terusirnya mereka dari Pamatang Nagur di daerah Pulau Pandan hingga terbagi menjadi 3 bagian sesuai dengan jumlah puteranya:[2]

* Marah Silau (yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar, Tuan Raja Sidamanik dan Tuan Raja Bandar)
* Soro Tilu (yang menurunkan marga raja Nagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik Nagur, Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan, Sola)
* Timo Raya (yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok)

Selain itu datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja, Gurning Raja, Malau Raja, Limbong, Manik Raja yang berasal dari Pulau Samosir dan mengaku Damanik di Simalungun.


“PERJALANAN SIMALUNGUN/DAMANIK DALAM TINJAUAN HABONARON”

Oleh sauhur ( M. Muhar Omtatok )

1. A. DAMANIK

Jika dirunut dari Dinasti Nagur, Damanik merupakan turunan dari Raja Nagur, yaitu Marah Silau – yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar, Tuan Raja Sidamanik dan Tuan Raja Bandar, Soro Tilu – yang menurunkan marga raja Nagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik Nagur, Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan, Sola, serta Timo Raya – yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok)

Selain itu datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja, Gurning Raja, Malau Raja, Limbong, Manik Raja yang mengaku sub-clan Damanik di Simalungun.

Damanik merupakan morga (marga) asli dan tertua di Simalungun. Jika Damanik diberi arti Simada Manik (pemilik manik), maka Damanik berarti Pemilik Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas).

Sejak zaman Nagur, Damanik telah menjadi leader bagi tamadun marga lainnya. Sebagai marga bangsawan awal, Damanik mengatur tatanan kesimalungunan.

Jika direnungkan bahwa tiap-tiap raja goraha non Damanik adalah menantu Damanik sebagai Raja kala itu. Bukan sebuah ungkapan berlebihan jika Damanik memengaruhi dan mewarnai etnografi, linguistik, sosiokultur maupun genetika marga lain.

Jika sebagian saudara kita, mengaitkan Damanik dengan Manik. Tentu Damanik boleh berbangga atas tawaran persaudaraan tersebut. Namun jika dilihat dari perjalanan panjang morga Damanik dalam tinjauan habonaron, maka sebuah kebenaran tidaklah boleh ditiadakan.

Justru kata ‘Damanik’ dan ‘Manik’ yang hanya dibedakan suku kata ‘Da’ menjadi menarik untuk dikaji.

Jika didengar bunyi-bunyi lingual condong berubah karena lingkungannya. Dengan demikian, perubahan bunyi tersebut bisa berdampak pada dua kemungkinan. Apabila perubahan itu tidak sampai membedakan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut masih merupakan alofon atau varian bunyi dari fonem yang sama. Dengan kata lain. perubahan itu masih dalam lingkup perubahan fonetis. Tetapi, apabila perubahan bunyi itu sudah sampai berdampak pada pembedaan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut merupakan alofon dari fonem yang berbeda. Dengan kata lain, perubahan itu disebut sebagai perubahan fonemis.

Penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya penghematan atau ekonomisasi pengucapan disebut Zeroisasi dalam ilmu bahasa. Peristiwa ini biasa terjadi pada penuturan bahasa-bahasa di dunia, termasuk bahasa-bahasa di Indonesia.

Dalam bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu, kita menemukan banyak kata yang berubah dari aslinya. Misalnya, kata Sahaya menjadi Saya, Dahulu menjadi Dulu, Tetapi menjadi Tapi, dan lainnya.

Jika di Simalungun, kata Danau disebut Laut, sebutan yang diperuntukkan untuk sumber kumparan air yang besar, yang juga diperuntukkan untuk menyebut kata laut seperti dalam Bahasa Indonesia. Kata ‘Laut’ tersebut mengalami perubahan ketika disebutkan dalam bahasa Karo, menjadi ‘Lau’, dan terus bergeser pada bahasa Batak Toba menjadi ‘ Tao”. Sehingga keasliannya bisa kita urutkan menjadi: Laut (Simalungun) – Lau (Karo) – Tao (Batak Toba).

Jika diklasifikasikan zeroisasi, paling tidak ada tiga jenis, yaitu aferesis, apokop, dan sinkop. Kata Damanik dan Manik masuk dalam Aferesis, yaitu proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada awal kata. Misalnya: tetapi menjadi tapi, peperment menjadi permen, upawasa menjadi puasa. Pada kata-kata itu tampak jelas yang mana kata terdahulu dan kata berikutnya. Kata Tetapi, Pepermint dan Upawasa adalah lebih tua ketimbang kata Tapi, Permen maupun Puasa.

Begitu halnya dengan Damanik dan Manik,yang tampak terjawab kini. Yaitu Damanik adalah lebih tua atau terdahulu ketimbang Manik.

Disini dikatakan bahwa Damanik bukanlah afiliasi atau sub-clan dari marga lain, baik yang ada di Simalungun maupun di luar Simalungun.


DAMANIK DAN RANJI SERAT TUBUH

Ranji Serat Tubuh merupakan keilmuan kuno di masa animisme dan dinamisme. Ilmu ini memuasalkan huruf dengan titik-titik maya di tubuh manusia. Huruf atau carakan Jawa yakni ha na ca ra ka dan seterusnya diyakini penghayatnya sebagai sabda pangandikanipun dari Tuhan di Tanah Jawa.

Ketika agama-agama berikutnya masuk ke Nusantara, Keilmuan kuno ini mengalami adaptasi. Huruf Hijaiyah dalam Bahasa Arab yang masuk ke Nusantara bersama masuknya Islam. Dianggap juga memiliki kharisma mistis, sehingga Ilmu Ranji Tubuh-pun menggunakan huruf-huruf import tersebut.

Keilmuan warisan leluhur ini sering pula dikaitkan dengan elemen-elemen tertentu, misalnya Bumi, Air, Api, Udara, dan Ether. Filsuf Yunani, Empedocles (492-432 SM) menyebutnya sebagai 4 ‘akar‘ atau 4 ‘dasar‘. Hippocrates (460~377 SM), Bapak Kedokteran, juga menggunakan konsep keempat elemen ini untuk pengobatan, yaitu teori bahwa penyakit timbul akibat ketidakseimbangan 4 cairan dalam tubuh (Humorism). Di India, kelima elemen ini sudah dikenal sejak dari munculnya kebudayaan atau filsafat Hindu dan Buddha. Begitu juga di China dan Jepang.

Di India, Ilmu Ranji Tubuh hingga kini sangat popular. Diyakini bahwa pada tubuh memiliki titik-titik maya yang mereka sebut dengan Chakra. Maka Aura sebagai manifestasi warna tubuh, dikatakan muncul dari chakra tersebut.

Di Simalungun, Ranji Serat Tubuh sudah teramat lama ada, sebelum Islam, Kristen dan lainnya masuk ke Tanoh Namadear ini. Keilmuan sejenis di Simalungun disebut Adjion Rahoet Mahoerei. Keilmuan ini Dipergunakan sebagai ‘Bohal Manggoluh’ bagi Pandihar (Pesilat) serta penghayat keilmuan Hadatuan (Pengobatan Tradisi). Di Simalungun klasik, keilmuan ini menggunakan huruf-huruf dari Surat sappuluh Siah yang dikolaborasikan dengan titik-titik tubuh serta langkah tubuh.

Bagi pemuda-pemuda yang belajar Mandihar (bersilat) dan Hadatuan di Simalungun kala itu, dianjurkan untuk menghormati pimpinan-pimpinan gaib dari abjad diatas, dengan ritual khusus yang menyediakan sesaji berupa Ayam Merah yang disusun diatas daun dan diletakkan di tikar yang masih baru, sira pege yaitu cocolan garam, lada dan jahe 7 iris, bunga kembang sepatu 7 tangkai. Semua bahan ini dilingkari dengan benang putih.Dalam sebuah pustaha laklak diterangkan, bahan diatas dilengkapi dengan nira, air, rudang, minyak saloh, beras sangrai yang dibuat tepung, 19 lembar sirih, kue nitak (tepung beras dicampur gula aren) serta huruf-huruf dari Aksara Simalungun yang telah disediakan.

Seluruh murid mengelilingi tikar tempat sesaji dan huruf yang diletakkan, lalu sang Datu membacai mantra. Berikut contoh mantra yang saya yakini sudah mendapat pengaruh unsur luar, yaitu: “Borkat ma hamu RAJA I DABIYA, Borkat ma hamu TUAN DIBORAKU, Borkat ma hamu ASAL NABU, Borkat ma hamu SITUNAGORI, Borkat ma hamu TUWAN NABI ALLI, Borkat ma hamu si ALAM SADIYA, Borkat ma hamu si ALAM SADIA SAH, Borkat ma hamu si ALAM JAHARI, Borkat ma hamu TUWAN MARJANDIHI, Borkat ma hamu RAJA SIPORAT NANGGAR, Borkat ma hamu RAJA ENDAH DUNIYA, Borkat ma hamu RAJA DI PUSUK SUNGEI, Borkat ma hamu TUWAN NABI ALI MUHAMMAD, Borkat ma hamu TUWAN SI NAHAR NANGKIR, Borkat ma hamu OMPUNG ANGLAH TAALA, Borkat ma hamu PUWANG AJI BORAIL, harannya ham Puwang ni Surat Sapuluh Siyah, na mannaikhon hosah, iya Tuwanku Jungjunganku” .

Lalu murid disuruh memilih huruf yang disukainya secara intuitif. huruf inilah yang bisa dijadikannya sebagai pegangan berupa jimat dan sebagainya untuk menyatukan diri dengan alam gaib. huruf yang dipilih bisa di jadikan mantra handalan. Dalam Pustaha Laklak, ada beberapa mantra yang digunakan dengan membaca huruf yang dipilih tadi, membacanya dengan mandoding yaitu bersenandung; misalnya untuk Pagar Pertahanan.

Kembali ke Adjion Rahoet Mahoerei atau Ilmu Ranji Serat Tubuh ala Simalungun. Dalam keilmuan yang dalam tulisan ini sekadar sebagai bahan kajian saja, ada disebutkan 4 huruf inti sebagai pusat Tonduy, Sumangat yang mampu melahirkan kekuatan tenagadalam. Empat huruf itu adalah ‘Da – Ma – Na – K’.

‘Da – Ma – Na – K’ disebutkan mempunyai tempat khusus di tubuh. (Da) berfungsi sebagai ‘Daoh-daoh’, yaitu memukul dari posisi tidak langsung namun bisa melumpuhkan lawan. Da ini terletak pada titik di kening di antara dua alis dan beberapa tempat lain dengan jurus dihar tertentu pula.

(Ma) berfungsi sebagai ‘Magang’, yaitu membuat tubuh berkharisma dan disegani lawan maupun kawan. Ma ini terletak pada titik di atas mata sebelah atas alis dan tempat lain pada tubuh.

(Na) berfungsi sebagai ‘Nae’, yaitu kaki yang mampu melangkah gesit dan melangkah ke sasaran yang tepat. Na terletak pada titik di bawah kemaluan serta di beberapa titik lain pada tubuh.

Sedangkan (K) tidak berhuruf karena ia adalah ‘Kurusani’, yaitu elemen induk besi yang diyakini sudah diberikan ‘Naibata’ sejak lahir di dalam tubuh. Jika dilatih dan dihidupkan, Kurusani atau indung ni bosi ini mampu membuat kebal, kekuatan dan ketahanan tubuh.

Dari uraian ini, saya menarik hipotesa bahwa selain berasal dari Simada Manik yaitu yang memiliki kharisma spiritual; Damanik adalah sebutan yang berasal dari urutan huruf ‘Da – Ma – Na – K’ tersebut, hingga selanjutnya disebut ‘Da – Ma – Ni – K’.

Kelebihan yang terkandung dari serat ranji tubuh ‘Da – Ma – Na – K’, yang mampu melumpuhkan lawan, memiliki tubuh berkharisma dan disegani lawan maupun kawan, mampu melangkah gesit dan melangkah ke sasaran yang tepat serta terlahir kebal, kuat dan memiliki ketahanan tubuh, adalah ejawantah dari Marga Damanik, sejak masa awal, Nagur, Siantar dan kiranya sampai kini.

Inilah bukti “PERJALANAN SIMALUNGUN/DAMANIK DALAM TINJAUAN HABONARON”, sebagai etnis/marga tua yang berbudaya dan memiliki peradaban yang tinggi.


Sistem Politik

Pada masa sebelum Belanda masuk ke Simalungun, suku ini terbagi ke dalam 7 daerah yang terdiri dari 4 Kerajaan dan 3 Partuanan.[4]

Kerajaan tersebut adalah:

1. Siantar (menandatangani surat tunduk pada belanda tanggal 23 Oktober 1889, SK No.25)
2. Panei (Januari 1904, SK No.6)
3. Dolok Silou
4. Tanoh Djawa (8 Juni 1891, SK No.21)

Sedangkan Partuanan (dipimpin oleh seseorang yang bergelar "tuan") tersebut terdiri atas:

1. Raya (Januari 1904, SK No.6)
2. Purba
3. Silimakuta

Kerajaan-kerajaan tersebut memerintah secara swaparaja. Setelah Belanda datang maka ketiga Partuanan tersebut dijadikan sebagai Kerajaan yang berdiri sendiri secara sah dan dipersatukan dalam Onderafdeeling Simalungun.

Dengan Beslit tanggal 24 April 1906 nomor 1 kemudian diperkuat lagi dengan Besluit tanggal 22 Januari 1908 nomor 57, Raja Siantar Sang Nahualu dinyatakan dijatuhkan dari tahtanya selaku Raja Siantar oleh pemerintah Hindia Belanda. Pemerintahan kerajaan Siantar, menunggu akil baligh Tuan Kodim dipimpin oleh suatu Dewan Kerajaan terdiri dari Tuan Marihat, Tuan Sidamanik dan diketuai oleh Kontelir Simalungun.

Setelah dibuangnya Raja Siantar Sang Naualuh dan Perdana Menterinya Bah Bolak oleh Belanda dalam tahun 1906 ke Bengkalis, maka sudah ratalah kini jalan untuk memaksakan Dewan Kerajaan Siantar yang diketuai Kontelir Belanda itu dan dibentuklah Besluit tanggal 29-7-1907 nomor 254 untuk membuat Pernyataan Pendek (Korte Verklaring) takluknya Siantar kepada Pemerintah Hindia Belanda. Dari isi surat-surat dokumen Belanda dapatlah direka yang tersirat bahwa dimakzulkannya dari tahta Siantar Tuan Sang Nahualu dan dibuangnya ia bersama perdana menterinya Bah Bollak ke Bengkalis 1906, adalah terutama karena background : Ia bersama hampir seluruh Orang-orang Besar Kerajaan Siantar adalah anti penjajahan Belanda; bahwa merembesnya propaganda Islam ke Simalungun khususnya dan Tanah Batak umumnya tidaklah disenangi oleh penjajah Belanda.

Pada 16 Oktober 1907 oleh Tuan Torialam (Tuan Marihat) dan Tuan Riah Hata (Tuan Sidamanik), melalui Verklaring (Surat Ikrar), dinyatakan tunduk kepada Belanda.

Dalam butir satu dari Verklaring yang memakai aksara Arab Melayu dengan Bahasa Melayu dan aksara Latin dengan Bahasa Belanda itu, tertulis, “

Ten eerste: dat het landschap Siantar een gedeelte uitmaakt van Nederlandsch Indie en derhalve staat onder de heerschappij van Nederland..” (Pertama: bahwa wilayah Siantar merupakan bagian dari Hindia Belanda dan karena itu berada di bawah kerajaan Belanda…). Masih ditambahkan bahwa akan setia kepada Ratu Belanda dan Gubernur Jenderal.

Sejak Surat Ikrar Torialam dari Marihat dan Riah Hata dari Sidamanik itu, Kerajaan Siantar akhirnya di bawah pengawasan Belanda. Belanda kemudian menobatkan putra Sang Naualuh bukan dari permaisuri, yang masih teramat muda, Tuan Riah Kadim menjadi raja pengganti. Tuhan Riah Kadim yang masih polos itu kemudian diserahkan Belanda kepada Pendeta Zending Guillaume di Purba. Pada Tahun 1916, Tuhan Riah Kadim diubah namanya menjadi Waldemar Tuan Naga Huta dan diakui Belanda sebagai Raja.( Suntingan dari Muhar Omtatok , Erond Damanik dan Juandaha Raya Purba Dasuha).


Selain 3 partuanan yang tersebut atas masih terdapat beberapa partuaan yang lain antara lain:

1. Parbalogan (tuan parbalogan op.Dja Saip Saragih Napitu) yang wilayahnya dari parmahanan hingga ke tigaras
2. Si Tahan Batoe Toean Van Si Polha , Si Ria Kadi Toean Van Manik Si Polha , Toean Gurasa Dolok Sumurung / Bandar Sipolha , Toean Intan Pulo Bosar Sipolha , Tuan Kalabosar ( Dolok Maraja Sipolha ), Tuan Paraloangin ( Jambur Na Bolag Sipolha ), Tuan Parangsangbosi ( Paribuan Sipolha ) semua Keturunan Raja Naposo Damanik.
3. Si Tahan Batoe Toean Van Si Polha / Toean Laen / Nai Tukkup , salah satu keturunannya adalah Tuan Jahutar Damanik dan Tuan Humala Sahkuda Damanik ( Hutabolon Sipolha ) orang tua dari: Tuan Djapurba Damanik, Tuan Djabagus Damanik, Tuan Djabanten Damanik, mantan Bupati Kabupaten Simalungun, Tuan Djahormat Damanik, Mora br.Damanik, Mayun br. Damanik.
4. Si Ria Kadi Toean Van Manik Si Polha / Toean Markadim / Nai Simin , keturunannya sebagai berikut pada no 5 , 6 , 7 :
5. Tuan Paraloangin Damanik ( Tuan Jambur Na Bolag Sipolha ) dengan laweinya Radja Israel Sinaga Prapat dari Parapat salah satu keturunannya adalah Tuan Labuhan Asmin Damanik ( Tuan Jambur Na Bolag berikutnya ) keturunannya adalah Prof.DR SC Reynold Kamrol Damanik ( USU ) , Prof DR David Tumpal Damanik ( USA ) , Cand.DR.Ec Daulat Damanik MA. ( Jerman ).
6. Tuan Parangsangbosi Damanik ( Tuan Paribuan Sipolha ) salah satu keturunannya adalah Brigjen Pol (Purn) Muller Damanik , SH ( Mantan Rektor USI P.Siantar).
7. Tuan Kalabosar Damanik ( Tuan Dolok Maraja Sipolha ) salah satu keturunannya adalah Ir. Syamsirun Damanik ( mantan salah satu Direktur Kem. Pertanian RI ) , Drs Pangsa Damanik.
8. Toean Gurasa Dolok Sumurung / Bandar Sipolha , salah satu keturunannya Mayjen TNI (Purn) Pieter Damanik ( Mantan Dubes RI di Philipina ) , Ir Djagunung Damanik , Revol Damanik.
9. Sipintu angin (tuan op.S.Saragih Turnip) merupakan orang tua dari Saragih Ras. Yang hingga kini tugunya (tugu hoda bottar)masih terlihat di Perbatasan Panatapan Ds.Tigaras


DENGAN KORT VERKLARING, 16 OKTOBER 1907, BELANDA MEMBAGI KERAJAAN SIANTAR MENJADI 37 PERBAPAAN dan tuan SAUADIM, DAMANIK KE XV, PERBAPAAN DARI BANDAR diangkat BELANDA MENJADI RAJA SIANTAR yang berakhir sampai tahun Revolusi Simalungun 1946.

3. SURAT IKRAR

Bahwa ini ikrar kami :

Si Tori Alam , Tuan Marihat dan Si Ria Hata Tuan Sidamanik.

Yaitu : bersama masuk komisi pemerintahan jajahan negeri Siantar mengaku tiga perkara yang tersebut di bawah ini , yaitu :

Pasal yang pertama.

Bermula ikrar kami bahwa sesungguhnya negeri Siantar jadi suatu bahagian daripada Hindia Nederland , maka takluklah negeri Siantar itu kepada kerajaan Belanda , maka wajiblah atas kami selama-lamanya bersetia kepada Baginda Sri Maharaja Belanda dan kepada wakil baginda yaitu Sri Paduka yang dipertuan besar Gubernur Jenderal Hindia Nederland , maka oleh Sri Paduka yang dipertuan besar Gubernur dikurniakan kepada kami jabatan pemerintahan di dalam Negeri Siantar.

Pasal yang kedua.

Maka mengakulah dan berjanjilah kami , bahwa kami tiada akan membicarakan suatu apa dari pada ikwal kami dengan Raja - raja yang asing , melainkan musuh Baginda Sri Maharaja itu musuh kami , begitu juga sahabat Sri Maharaja Belanda itu Sahabat kami adanya.

Pasal yang ketiga.

Bahwa mengakulah dan berjanjilah kami , bahwa sesungguhnya segala peraturan hal ikwal Siantar , baik yang telah diaturkan , baik yang akan diikrarkan oleh atau dengan nama Baginda Sri Paduka yang dipertuan besar Gubernur Jenderal Hindia Nederland atau wakilnya semua pengaturan itu kami hendak menjalankan akan segala perintah yang diperintahkan kepada kami , baik oleh Sri paduka yang dipertuan besar Gubernur Jenderal baik oleh wakilnya , semua perintah itu kami hendak menurutkan juga adanya. Demikianlah Ikrar yang telah kami mengaku dengan bersumpah di Pematang Siantar pada enam belas Oktober 1907, dan tersurat tiga helai yang sama bunyinya.

Si Tori Alam

Si Ria Hata

( Anggota dari komisi Kerajaan Siantar )

Disaksikan oleh Si Jure Lucan O'Brien , Controleur Simalungun. Ikrar ini disyahkan dan dikuatkan pada tanggal 22 Januari , 1908.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda

d.t.o

( V.Heutz )


4. Proces - Verbal / Berita Acara.

Pada hari ini tanggal 16 Oktober 1907 hadir di hadapan saya Jure Lucan O'Brien . Controleur Simalungun.

Op heden , den Zestienden october negentien honderd en zevend , voor mij , J.L.O'Brien , Controleur van Simeloengoen.

1. Si Saoeadim , Toean Van Bandar
2. Si Badjandin , Toean Van Bandar Poelau
3. Si Kani , Toean Van Bandar Bajoe
4. Si Djamin , pemangkoe Van Toean Negeri Bandar
5. Si Mia , Toean Van Si Malangoe
6. Si Kama , Roumah Suah
7. Si Bisara , Nagodang
8. Si Djommaihat , Toean Kahaha
9. Si Djarainta , Toean Boentoe
10. Si Djandioeroeng , Toean Dolok Siantar
11. Si Silim , Toean Van Bandar Sakoeda
12. Si Djontahali , Toean Van Mariah Bandar
13. Si Rimmahala , Toean Van Naga Bandar
14. Si Kadim , Toean Van Bandar Tonga
15. Si Tongma , Bah Bolak Van Pematang Siantar
16. Si Naman , Toean Van Lingga
17. Si Djaha , Toean Van Bangoen
18. Si Djibang , Toean Van Dolok Malela
19. Si Djandiain , Toean Van Silo Bajoe
20. Si Lampot , Toean Van Djorlang Hataran
21. Si Djanji-arim , Toean Van Maligas Bandar
22. Si Djadi , Toean Van Sakuda
23. Si Radjawan , Toean Van Gunung Maligas
24. Si Djaoelak , Toean Van Tamboen
25. Si Tahan Batoe , Toean Van Si Polha
26. Si Ria Kadi , Toean Van Manik Si Polha
27. Si Ganjang , Toean Van Repa
28. Si Djoinghata , Toean Van Pagar Batoe
29. Si Djaingot , Toean Van Si Lampoeyang
30. Si Djaoeroeng , Toean Van Gadjing
31. Si Mahata , Toean anggi Van Sidapmanik
32. Si Bandar , Toean Manik Hataran
33. Si Takkang , Toean Van Tamboen Rea
34. Si Rian , Toean Van Manik Maradja
35. Si Marihat , Toean Van Perbalogan
36. Si Pinggan , Toean Van Hoeta Bajoe
37. Si Djoegmahita , Toean Van Manggoetoer

Dimana mereka sebagai para kepala kerajaan / perbapaan , dihadapan saya telah menerangkan dan bersetuju dengan keterangan yang dibuat ini hari oleh komisi kerajaan Siantar dengan kehadirannya atas sumpah dan dikuatkan dalam ikrar ini. Demikian diperbuat ikrar ini berdasarkan berita acara dengan tiga rangkap.

Pematang Siantar , 16 Oktober 1907.-

Controleur Simalungun.

d.t.o

( Jure Lucan O'Brien )

( dalam Tulisan , Jahutar Damanik , NPV : 2.029.293, Raja Sang Naualuh , Sejarah Perjuangan Kebangkitan Bangsa Indonesia , Medan medio 1981 cetak ulang tahun 1987 )


Partuanan-partuanan ini tidak pernah tunduk kepada pemerintahan Belanda saat itu, di daerah dilakukan perlawanan perlawanan kecil secara bergerilya.

simarmata

* Ompu Tuan Binur


Adalah putera sulung Raja Isumbaon yang sebenarnya bernama Ompu Tuan Nabolon, namun sampai kini keturunannya dinamai pomparan Nai Ambaton menurut ibu leluhurnya dan walaupun keturunan Naiambaton sudah lebih dari 50 marga dan lebih kurang 20 generasi, sampai sekarang masih tetap mempertahankan "ruhut bombong" yaitu peraturan yang tidak memperbolehkan perkawinan sesama marga yang termasuk seluruh marga Nai Ambaton. Nai Ambaton mempunyai 5 putera, tetapi ada pendapat yang mengatakan tiga orang putera dan ada juga mengatakan empat orang. Meskipun ada perbedaan pendapat tetapi tentang jumlah dan marga-marga yang termasuk keturunan Raja Nai Ambaton hampir semua sepakat. Tulisan ini mengikuti pendapat yang mengatakan putera Nai Ambaton ada 4 orang, masing-masing:Simbolon Tua, Saragi Tua, Tamba Tua, Munte Tua. Dari keempat marga induk inilah lahir berpuluh puluh marga keturunan Nai Ambaton. Saragi Tua mempunyai 2 orang putera yaitu Ompu Tuan Binur dan Ompu Partumpuan (Ompu Saragi). Ompu Tuan Binur kawin dengan Bunga Ria Boru Manurung, puteri Raja Manurung yang tinggal di negeri Sihotang. Ompu Tuan Binur kemudian mendirikan kampung yang bernama Huta Namora di Rianiate, dekat Pangururan dan menjadi raja dari daerah sekitarnya. Ompu Tuan Binur mempunyai 4 orang putera yaitu Lango Raja, Saing Raja, Mata Raja dan Deak Raja, dan kedua puterinya kawin dengan Sihotang Marsoit dan Limbong Naopatpulu.


* Ompu Simataraja Simarmata.

Putera ketiga dari Ompu Tuan Binur yaitu Simataraja, yang kemudian kawin dengan puteri Raja Saudakkal dari Limbong Mulana, bernama Lahatma boru Limbong Sihole, dan selanjutnya mereka tinggal didaerah bernama Simarmata, sebagai bona pasogit dari seluruh keturunan Ompu Simataraja marga Simarmata. Kapan persisnya Simataraja memakai marga Simarmata, kurang jelas. Dari perkawinannya, Simataraja mempunyai tiga orang putera yaitu:Halihi Raja, kawin dengan Naolo boru Sihaloho dari Janji Maria Parbaba, Dosi Raja, kawin dengan Bungahom boru Malau dari Rianiate, dan Datuktuk Raja kawin dengan Tiarma boru Sinaga Uruk dari Batu Upar, Urat. Kepada ketiga puteranya Simataraja membagikan tanah sebagai tempat kediaman masing-masing beserta keturunannya. Halihi Raja memperoleh Huta Uruk, Dosi Raja memperoleh Huta Toguan(Toruan), dan yang bungsu Datuktuk Raja memperoleh Huta Balian. Setelah Ompu Simataraja wafat, maka ketiga puteranya tetap menjadi raja di negeri Simarmata dengan damai. Diduga ketiga Ompu ini hidup sekitar tahun 1550. Dari ketiga putera Ompu Simataraja inilah yang menurunkan marga Simarmata dan menyebar keseluruh pelosok, terutama ke daerah pantai Sumatera ditepian pantai Danau Toba, baik kearah Timur, Tenggara maupun Barat, di antaranya ke Simalungun, Karo, Dairi, Humbang, Sibolga, Barus dan selanjutnya ke Pematang Siantar, Binjai dan kota-kota lainnya di Sumatera, Jawa, bahkan ke seluruh Indonesia dan Dunia.


* Simarmata menjadi Saragih .

Bila diperhatikan sepintas, bahwa raja-raja penguasa tanah Simalungun hanya terdiri dari empat marga yaitu Saragih, Damanik, Purba dan Sinaga, ada kesan bahwa keturunan Raja Nai Ambaton dari puteranya Saragi Tua, sudah cukup lama pergi ke tanah Simalungun sehingga dapat menjadi raja. Keturunan Simataraja marga Simarmata yang datang kemudian dapat diterima di Simalungun karena mengikuti marga dongan tubunya Saragi yang di Simalungun menjadi Saragih. Belakangan setelah kekuasaan raja-raja berkurang, marga Simarmata yang tadinya disebut marga Saragih kembali memakai marga Simarmata. Namun mereka umumnya kesulitan untuk mengetahui siapa di antara ketiga Ompu anak Simataraja, yang menjadi leluhurnya. Kebanyakan dari mereka menempati pesisir pantai di hadapan Pulau Samosir, seperti Tigaras, Haranggaol, Silalahi dan desa-desa disepanjang pantai tersebut. Konon kabarnya perpindahan generasi ini sudah berlangsung antara tujuh sampai sepuluh generasi.


* Simataraja mengasihi adiknya Deak Raja dengan setulus hati.

Ketika ayahanda Lango Raja, Saing Raja, dan Simataraja meninggal, ibu mereka Ompu Bungaria boru Manurung sedang hamil (Marnadeak siubeon), kedua abang Simataraja bersikeras agar warisan peninggalan Ompu Tuan Binur dapat dibagi secepatnya. Tetapi Simataraja menolak dengan pertimbangan bahwa ibunda mereka masih hamil, mengandung calon adik mereka. Bagaimana warisan dapat dibagi tiga, sebab kalau ternyata bayi yang akan lahir itu adalah laki-laki, sesuai adat Batak, semuanya mempunyai hak yang sama. Simataraja meminta kepada abang-abangnya agar pembagian warisan ditunda saja dulu, sampai ibu mereka melahirkan. Permintaan Simataraja tidak disetujui oleh Lango Raja dan Saing Raja. Mereka tetap bersikeras agar pembagian dilakukan sekarang juga. Dengan perasaan sedih dan terpaksa Simataraja menyetujui keputusan kedua abangnya, dan dia berjanji bila bayi yang akan dilahirkan ibunya adalah laki-laki, maka warisan yang menjadi haknya akan diberikan kepada adiknya itu. Keputusanpun dilaksanakan, warisan dibagi tiga. Setelah tiba saatnya, ibunda merekapun melahirkan seorang putera yang diberi nama Deak Raja, dan sesuai janjinya Simataraja memberikan warisan miliknya untuk adiknya yang sangat disayanginya karena dia tidak sempat mengenal ayahanda mereka. Kemudian hari Deak Raja menurunkan marga Nadeak. Kisah ini dapat memberi pelajaran berharga bagi keturunan Simataraja, yang sekarang ini dikenal sebagai marga Simarmata, agar tetap menghormati yang lebih tua berupa tunduk kepada keputusan abangnya dan tidak mementingkan harta, dengan memberikan warisannya kepada adiknya, dan dia sendiri meninggalkan kampung halamannya di Rianiate dan pergi ke daerah baru, yang sekarang ini dikenal sebagai negeri Simarmata.


* Simataraja unggul dalam hal komunikasi dan negosiasi.

Konon khabarnya bahwa di negeri Tamba, tempat tinggal keturunan Tamba, ada warisan peninggalan kakek Simataraja yaitu Saragi Tua dan peninggalan ayahnya yaitu Ompu Tuan Binur. Mereka berempat, Lango Raja, Saing Raja dan Simataraja beserta Deak Raja berunding untuk meminta penjelasan tentang warisan yang menjadi hak mereka. Disepakati bahwa yang menjadi utusan adalah Simataraja. Pada hari baik dan bulan baik, berangkatlah Simataraja ke negeri Tamba dengan misi "patotahon" atau "penegasan" bagian peninggalan ayah dan kakeknya. Kedatangan Simataraja disambut dengan baik oleh dongan sabutuhanya dari keturunan si Raja Nai Ambaton, yaitu Tamba bersaudara yang terdiri dari:Si Tonggor Dolok, Si Tonggor Tonga-tonga dan Si Tonggor Toruan. Melalui acara marsisean Tamba bersaudara bertanya tentang maksud dan kedatangan Simataraja, yang di jawab bahwa kedatangan Simataraja adalah untuk bertanya tentang warisan peninggalan kakek dan ayahnya yang ada di daerah Tamba. Tamba bersaudara mengakui bahwa ada peninggalan Ompu Tuan Binur dan Saragi Tua di daerah Tamba. Tamba bersaudara mengajak Simataraja ke Golat yang ada di daerah Tamba, lalu mereka berikrar dan menyepakati mana yang menjadi hak Tamba bersaudara dan mana yang menjadi hak keturunan Ompu Tuan Binur. Setelah ikrar dipastikan, tercapa rasa puas, pada masing-masing pihak, lalu mereka mengadakan pesta gembira, dengan mengundang semua unsur Dalihan Natolu. Pada pesta tersebut mereka mangalahat horbo sitingko tanduk, sijambe ihur, siopat pusoran namalo marege di tonga alaman, melambangkan kegembiraan hati dan kerbau yang mempunyai empat kaki melambangkan kesatuan mereka pinompar ni si Raja Nai Ambaton Nabolon. Kisah tersebut memberi pesan bahwa Simataraja, leluhur marga Simarmata adalah orang yang mempunyai kemampuan lebih dalam hal berkomunikasi dan negosiasi, bila dibandingkan dengan saudara-saudaranya. Dalam masyarakat Batak yang patrilineal, dimana yang tertualah biasanya yang mewakili kepentingan keluarga. Simataraja dapat memperoleh apa yang menjadi misinya, tanpa mendatangkan rasa sakit hati kepada siapapun, malah justru merasa puas, karena kemampuannya "marhata". Suatu bahasa diplomasi ala Batak yang penuh dengan bahasa halus, umpasa-umpasa, tamsil, yang tidak dimiliki semua orang. Kemampuannya berkomunikasi sangat prima, artinya mampu memilih kata yang tepat pada waktu yang tepat, dapat mengendalikan emosi, mau mendengar pendapat orang lain, mampu melihat tidak hanya yang tersurat, melainkan juga yang tersirat, mempunyai wawasan pemikiran yang luas dan yang terutama mempunyai ketulusan hati. Semoga keturunannya, SIMARMATA dapat mewarisinya.


* Simataraja tidak mau mempergunakan kesempatan dalam kesempitan.

Ada keturunan Raja Turnip dan Raja Siallagan, yang tinggal di Simanindo. Mereka mendapat serangan dari marga Purba dari Simalungun. Serangan demikian hebatnya, yang mengakibatkan kalau ada keturunan Turnip dan Siallagan yang tertangkap langsung di jadikan hatoban atau budak. Raja Turnip dan Siallagan kewalahan dan butuh pertolongan. Lalu diadakan Sidang Darurat yang memutuskan untuk meminta pertolongan Simataraja, selaku dongan tubu, tetangga dan konon khabarnya juga marpariban karena sama-sama helani ni Limbong. Utusan ditugaskan menemui Simataraja, dan untuk menunjukkan rasa hormat mereka membawa kuda Sigajanabara. Mendapat penjelasan dari utusan, Simataraja diyakini dapat melepaskan mereka dari kesulitan, maka dia pun berangkatlah ke Simanindo. Simataraja merancang strategy. Turnip dan Siallagan diminta agar selama tujuh hari memintal tali ijuk. Kemudian selama tujuh hari Turnip dan Siallagan agar jangan ada yang meninggalkan rumah. Simataraja mau berjuang sendiri, mempertahankan Simanindo. Dia membuat orang-orangan, sejenis ondel-ondel Betawi, yang dibuat mirip serdadu perang. Dipasang hanya pada malam hari, antara Rahutbosi dan Simanindo. Suatu malam musuh yang ditunggu-tunggupun datang, Simataraja siaga dengan tali ijuk di tangan, mengontrol orang-orangan. Begitu musuh sudah masuk pada jarak yang sesuai, tiba-tiba pengontrol ditarik mengakibatkan orang-orangan bergerak, bergoyang-goyang seperti serdadu yang menyerang musuh. Simataraja memberi komando seperti berperang. Musuh sangat kaget, menghadapi situasi yang tidak terduga, maka posisi perahu mereka kalang kabut, ada yang panik, ada yang tenggelam, ada yang melarikan diri. Musuh sudah kalah, sebelum menyadari apa yang terjadi. Turnip dan Siallagan sangatlah gembira. Pestapun diadakan, Simataraja diminta kesediaannya agar mau tinggal bersama mereka. Simataraja menolak permintaan dongan sabutuhanya, dengan ucapan:Marilah kita menempati tanah masing-masing. Kemudian mereka bertiga "marpadan". Pesan dari ceritera ini adalah Simataraja tidak mau mempergunakan kesempatan dalam kesempitan orang lain, tanah yang ditawarkan ditolak. Semoga keturunannya marga Simarmata, jangan menjadi orang yang materialistis.


* Tugu Simataraja

Tugu adalah monumen, pemersatu dan sebagai simbol leluhur marga, sekaligus menegaskan bahwa pomparan ini, keluarga ini bukan "mapultak sian bulu". Dengan memiliki monumen seorang keluarga Simarmata, tidak soal dari mana dia berasal, berapa generasi moyangnya sudah pergi merantau meninggalkan bonapasogit, dia tetap dapat berkata inilah leluhurku, akulah cucunya. Bonapasogit adalah tanah kelahiran, kampung halaman, tempat ziarah, tempat perantau melabuhkan rindu. Bonapasogit bagi keturunan Simataraja adalah tanah Simarmata, suatu negeri di pulau Samosir. Kini tugu kebanggaan seluruh pomparan, keluarga besar Ompu Simataraja, sudah berdiri tegak disebuah desa, dinegeri Simarmata bernama Toguan, ditepi Danau Toba, seolah melambai memanggil pulang anak cucunya untuk membangun bonapasogit tercinta, seolah mengulurkan tangan menyambut kedatangan "pomparan"nya dan berkata:Cucu-cucuku aku adalah leluhurmu, Simataraja Simarmata dan Lahatma boru Limbong Sihole, Tugu ini adalah pemersatu bagimu keturunanku, Tugu ini adalah tempat ziarah bagi kamu yang lelah, Tugu ini adalah mata air bagi kamu yang rindu. Tugu mempunyai ketinggian 17 meter. Pada puncak tugu terdapat "tatuan" yaitu sejenis piring yang terbuat dari kayu dan mempunyai "kaki" semacam penyangga. Dengan tatuan ini pada masa lampau keluarga Batak makan bersama. Pada model tatuan dipuncak tugu tersebut tidak lupa nasi putih. Tatuan berisi nasi putih ini menggambarkan-menyimbolkan "Pomparan Simataraja adalah sapanganan jala sada roha, seia sekata".

Disadur dari Blog Bapaanda B. Simarmata by Nafry Marmata 03:23, 16 Mei 2008 (UTC)
[sunting] Silsilah dari Siraja Batak

* 1. Siraja Batak
* 2. Guru Tatea Bulan
* .. ...........
* ... Saragi Tua
* .... Ompu Tuan Binur
* ...... Simarmata


[sunting] Lihat pula

* . Batak
* . Marga Batak

[sunting] Pranala luar

* (Indonesia) Simarmata.or.id
* (Indonesia) Tarombo Online
* (Indonesia) B.Simarmata
* (Indonesia) J.Simarmata
* (Indonesia) Pembrontak
* (Indonesia) Sahat Simarmata
* (Indonesia) Riky Simarmata